Oleh:
M. Kava Zulfikri
Peredepatan
tentang apakah Allah bertempat duduk di Arsy adalah perdebatan klasik oleh para
teolog islam terdahulu. Ini juga merupakan perdebatan yang sudah diulang –
ulang. Menurut sebagain golongan mereka meyakini bahwa Allah bersemayam di Arsy.
Hal ini di dasarkan pada Q.S. al A’raf ayat
54[1],
Q.S. Yunus ayat 3[2], Q.S. al-Ra’d : 2[3], Q.S. Thaha : 5[4], Q.S. al-Furqan : 59[5], dan Q.S. al-Sajadah : 59[6] yang telah menyebutkan bahwa Allah bersemayam di
Arsy.
Tim Pro dimana Allah bersemayam di Arsy,
mendalilkan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh oleh Imam Muslim yang
bersumber dari Muawiyah ibn al-Hakam al-Sulami di mana dia mempunyai seorang
budak perempuan yang ingin dia merdekakan, lalu ia membawanya kepada
Rasulullah. Untuk memastikan kemuslimannya, Rasul lantas bertanya kepada sang
budak, “di mana Allah.?” Lalu dia menjawab, “di langit”.
Kemudian Rasul bertanya lagi, “siapa saya.?”. Ia menjawab, “Engkau
utusan Allah”. Mendengarkan jawaban tersebut, Rasulpun berkata kepada
Muawiyah ibn al-Hakam, “Merdekakanlah dia, karena dia sudah beriman!. Hadist tersebut menerangkan bahwa Allah memang berada
di langit. Kemudian dengan adanya peristiwa isra mijra membuktikan memang benar
Allah bersemayam di Arys, karena Nabi Muhammad SAW naik ke langit dan Sidrah al-Muntaha. Akan tetapi apakah benar logika Allah memang bersemayam di
Arsy ?
Dalam memahami perkara ketuhanan tentu harus
menggunakan dalil naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli diambilkan dari Teks-teks
Al quran dan hadist, dan dalil Aqli digunakan untuk merasionalkan dalil naqli
tersebut. Tidak mungkin kebenaran ditemukan hanya melihat teks yang tidak
dirasionalkan, sebaliknya kebenaran akan bersifat nisbi jika hanya mengandalkan
akal semata. Berkaitan dengan konteks
yang dibahas mayoritas ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa Allah adalah tuhan
yang bersama dengan sifat – sifat kemulyaan dan kesempurnaan yang berbeda
dengan mahluknya. Sifat-Sifat Allah yang sudah kita hafalkan waktu kecil
dahulu, yaitu salah satunya sifat mukhalafatuhu
li al-hawadits (Allah berbeda dengan hal yang baru). Jika Mahluk Allah
misalnya Manusia, Hewan, Tumbuhan, virus, Bakteri atau yang lainya tentu mereka
membutukan tempat untuk hidup, sehingga jika mahuk membutuhkan tempat maka
tidak mungkin Allah membutuhkan tempat seperti makhluknya dimana kalau tidak
memiliki tempat tidak bisa hidup. Sangat naïf dan berdosa besar sekali jika
kita beranggapan bahwa Allah membutuhkan tempat. Lantas bagaimana dengan ayat
dan hadist diatas? Inilah kemudian dalam memahmi teks Al quran diperlukan Akal
kita untuk merasionalakan dan mempertemukan dengan sifat sifat Allah. Jika
secara kasat mata tidak sesuai dengan sifat – sifat Allah maka kita harus
melakukan penta’wilan atas teks tersebut untuk mendapatkan makna yang
shahih. Syaikh Salim ketika berdebat
dengan tokoh Wahabi di Aula universitas Melbourn menjelaskan bahwa Allah SWT
terhadap Arsy bukan seperti Istawa’-nya mahluk. Lafadz Istawa’ dalam ayat ayat
diatas, tidak diartikan “duduk” dan bukan pula “menetap”. Akan tetapi istawa’
tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah SWT, yang tidak menyerupai
makna istawa’ ketika disandarkan kepada mahluk. Hal ini sesuai dengan
perakataan al-Imam Ahmad bin Hambal[7] “
Allah Ber-Istawa’ sebagaimana yang diceritakan dalam al-Quran, bukan seperti
yang terlintas dalam benak manusia”.[8]
Sedangkan terkait dengan hadist diatas, maka
imam al-Ghazali menjawab melalui karyanya al-Iqtishad fi
al-I’tiqad penyebutan langit dalam pertanyaan Nabi tersebut sengaja
untuk menguji tingkat keimanan seorang awam yang biasanya meyakini Tuhan itu
Maha Tinggi dan kemahatinggiannya dipahami dengan eksistensinya yang berada di
arah atas (langit). Dalam artian, karena Nabi mengetahui kalau budak tersebut
masih awam dan sebelumnya adalah non-muslim, maka beliaupun bertanya kepadanya
dengan pertanyaan global yang sangat mendasar. Tujuannya hanya untuk mengetahui
apakah dia beriman atau tidak? Jadi hadis itu sama sekali tidak dimaksudkan
Nabi untuk menyatakan bahwa Allah Swt bertempat di langit, tapi hanya
semata-mata untuk memastikan keimanan sang budak tersebut terhadap eksistensi
Allah Swt. Hal ini, menurut al-Ghazali juga bisa dikaitkan dengan pertanyaan
kenapa kita berdoa dengan menghadap ke arah langit? Jawabannya adalah karena
melihat ke arah atas (langit) itu adalah simbol kehinaan diri yang senantiasa
harus direndahkan di hadapan Tuhan semesta alam. Bukan berarti kita meyakini
bahwa Allah itu berada di langit.[9]
Sebagaimana yang diketahui juga bahwa Allah
bersifat qadim (terdahulu dari semua zat yang ada), sehingga jika
keyakinan Allah bertempat ini masih dipaksakan, maka pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah di mana Allah ketika ruang dan waktu itu belum Ia ciptakan.?
Jika Allah bertempat di Arasy, mana yang lebih besar antara Allah dengan tempat
duduk-Nya.? Jika Allah lebih besar maka bagaimana mungkin Ia bisa duduk di
tempat yang lebih kecil dari-Nya.? Sebaliknya, jika tempat duduknya lebih besar
dari Allah, lantas di mana letak kemahabesaran dan kemahaagungan-Nya di hadapan
makluk-Nya jika kita berlogika seperti itu?[10].
Begitu juga kenapa Nabi mi’raj harus ke langit
atau sidratul muntaha? Jawabannya adalah hanya sebagai pembuktian kemahabesaran
Allah yang identik dengan ketinggian dan ketidakterjangkauan. Sementara tempat
yang paling agung menurut perspektif manusia pada umumnya adalah langit, maka
Nabipun dimikrajkan Allah hingga sampai kelangit tertinggi. Pada dasarnya
mungkin saja bagi Allah untuk memikrajkan Nabi ke dasar lautan, ke dasar bumi,
atau ke tempat lain, namun karena langit sebagai isyarat ketinggian, maka Allah
pun memilihnya.
Keyakinan bahwa Allah tanpa ruang dan tempat mayoritas
Ulama Ahlus sunah Waljamaah, salah satunya Imam al-Nawawi dalam syarah
Muslim-nya ketika menjelaskan hadis di atas. Beliau menyebutkan bahwa
penyebutan langit pada hadis tersebut hanya karena langit dijadikan sebagai
kiblat dalam berdoa sebagaimana halnya kakbah ditetapkan Allah sebagai kiblat
dalam melaksanakan salat. Bukan berarti Allah hanya bertempat di langit dan di
Kakbah saja, namun itu hanya sebatas penyatuan arah dalam berdoa dan salat,
tidak yang lain. Semoga kita di Tahun ini dapat memaksimalkan nikmat allah yang
telah diberikan untuk semakin menambah semangat kita untuk sholat, tidak hanya
secara kuantitas tapi juga kualitas ibadah kita. والله اعلم
[7] Imam ahmad bin hambal dikatakan oleh gus Baha
sebagai ulama yang sangat mengangungkan dan menyakralkan Alquran, dengarkan
ceramah beliau di https://www.youtube.com/watch?v=5isMJvpMuUQ
[8] Muhammad Idrus Ramly, Buku Pintar Berdebat
dengan Wahhabi, Bina Aswaja, Surabaya, 2010, hlm 70
[9] Yunal Isra, “Benarkah
Peristiwa Isra Mi’raj Buktikan Allah Bertempat di Langit? - Bincang Syariah”,
(2 April 2018), online: BincangSyariah | Portal Islam Rahmatan lil Alamin
<https://bincangsyariah.com/kalam/benarkah-peristiwa-isra-miraj-buktikan-allah-bertempat-di-langit/>,
Library Catalog: bincangsyariah.com.