Memahami Allah SWT Bersemayam di Arsy dan Miraj Nabi ke Sidrat al-Muntaha

Maret 22, 2020


Oleh: M. Kava Zulfikri

Peredepatan tentang apakah Allah bertempat duduk di Arsy adalah perdebatan klasik oleh para teolog islam terdahulu. Ini juga merupakan perdebatan yang sudah diulang – ulang. Menurut sebagain golongan mereka meyakini bahwa Allah bersemayam di Arsy. Hal ini di dasarkan pada Q.S. al A’raf ayat  54[1], Q.S. Yunus ayat 3[2], Q.S. al-Ra’d : 2[3], Q.S. Thaha : 5[4], Q.S. al-Furqan : 59[5], dan Q.S. al-Sajadah : 59[6] yang telah menyebutkan bahwa Allah bersemayam di Arsy.


Tim Pro dimana Allah bersemayam di Arsy, mendalilkan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh oleh Imam Muslim yang bersumber dari Muawiyah ibn al-Hakam al-Sulami di mana dia mempunyai seorang budak perempuan yang ingin dia merdekakan, lalu ia membawanya kepada Rasulullah. Untuk memastikan kemuslimannya, Rasul lantas bertanya kepada sang budak, “di mana Allah.?” Lalu dia menjawab, “di langit”. Kemudian Rasul bertanya lagi, “siapa saya.?”. Ia menjawab, “Engkau utusan Allah”. Mendengarkan jawaban tersebut, Rasulpun berkata kepada Muawiyah ibn al-Hakam, “Merdekakanlah dia, karena dia sudah beriman!. Hadist tersebut menerangkan bahwa Allah memang berada di langit. Kemudian dengan adanya peristiwa isra mijra membuktikan memang benar Allah bersemayam di Arys, karena Nabi Muhammad SAW naik ke langit dan Sidrah al-Muntaha. Akan tetapi apakah benar logika Allah memang bersemayam di Arsy ?

Dalam memahami perkara ketuhanan tentu harus menggunakan dalil naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli diambilkan dari Teks-teks Al quran dan hadist, dan dalil Aqli digunakan untuk merasionalkan dalil naqli tersebut. Tidak mungkin kebenaran ditemukan hanya melihat teks yang tidak dirasionalkan, sebaliknya kebenaran akan bersifat nisbi jika hanya mengandalkan akal semata.  Berkaitan dengan konteks yang dibahas mayoritas ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa Allah adalah tuhan yang bersama dengan sifat – sifat kemulyaan dan kesempurnaan yang berbeda dengan mahluknya. Sifat-Sifat Allah yang sudah kita hafalkan waktu kecil dahulu, yaitu salah satunya sifat mukhalafatuhu li al-hawadits (Allah berbeda dengan hal yang baru). Jika Mahluk Allah misalnya Manusia, Hewan, Tumbuhan, virus, Bakteri atau yang lainya tentu mereka membutukan tempat untuk hidup, sehingga jika mahuk membutuhkan tempat maka tidak mungkin Allah membutuhkan tempat seperti makhluknya dimana kalau tidak memiliki tempat tidak bisa hidup. Sangat naïf dan berdosa besar sekali jika kita beranggapan bahwa Allah membutuhkan tempat. Lantas bagaimana dengan ayat dan hadist diatas? Inilah kemudian dalam memahmi teks Al quran diperlukan Akal kita untuk merasionalakan dan mempertemukan dengan sifat sifat Allah. Jika secara kasat mata tidak sesuai dengan sifat – sifat Allah maka kita harus melakukan penta’wilan atas teks tersebut untuk mendapatkan makna yang shahih.  Syaikh Salim ketika berdebat dengan tokoh Wahabi di Aula universitas Melbourn menjelaskan bahwa Allah SWT terhadap Arsy bukan seperti Istawa’-nya mahluk. Lafadz Istawa’ dalam ayat ayat diatas, tidak diartikan “duduk” dan bukan pula “menetap”. Akan tetapi istawa’ tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah SWT, yang tidak menyerupai makna istawa’ ketika disandarkan kepada mahluk. Hal ini sesuai dengan perakataan al-Imam Ahmad bin Hambal[7] “ Allah Ber-Istawa’ sebagaimana yang diceritakan dalam al-Quran, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia”.[8]

Sedangkan terkait dengan hadist diatas, maka imam al-Ghazali menjawab melalui karyanya al-Iqtishad fi al-I’tiqad penyebutan langit dalam pertanyaan Nabi tersebut sengaja untuk menguji tingkat keimanan seorang awam yang biasanya meyakini Tuhan itu Maha Tinggi dan kemahatinggiannya dipahami dengan eksistensinya yang berada di arah atas (langit). Dalam artian, karena Nabi mengetahui kalau budak tersebut masih awam dan sebelumnya adalah non-muslim, maka beliaupun bertanya kepadanya dengan pertanyaan global yang sangat mendasar. Tujuannya hanya untuk mengetahui apakah dia beriman atau tidak? Jadi hadis itu sama sekali tidak dimaksudkan Nabi untuk menyatakan bahwa Allah Swt bertempat di langit, tapi hanya semata-mata untuk memastikan keimanan sang budak tersebut terhadap eksistensi Allah Swt. Hal ini, menurut al-Ghazali juga bisa dikaitkan dengan pertanyaan kenapa kita berdoa dengan menghadap ke arah langit? Jawabannya adalah karena melihat ke arah atas (langit) itu adalah simbol kehinaan diri yang senantiasa harus direndahkan di hadapan Tuhan semesta alam. Bukan berarti kita meyakini bahwa Allah itu berada di langit.[9]

Sebagaimana yang diketahui juga bahwa Allah bersifat qadim (terdahulu dari semua zat yang ada), sehingga jika keyakinan Allah bertempat ini masih dipaksakan, maka pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah di mana Allah ketika ruang dan waktu itu belum Ia ciptakan.? Jika Allah bertempat di Arasy, mana yang lebih besar antara Allah dengan tempat duduk-Nya.? Jika Allah lebih besar maka bagaimana mungkin Ia bisa duduk di tempat yang lebih kecil dari-Nya.? Sebaliknya, jika tempat duduknya lebih besar dari Allah, lantas di mana letak kemahabesaran dan kemahaagungan-Nya di hadapan makluk-Nya jika kita berlogika seperti itu?[10].

Begitu juga kenapa Nabi mi’raj harus ke langit atau sidratul muntaha? Jawabannya adalah hanya sebagai pembuktian kemahabesaran Allah yang identik dengan ketinggian dan ketidakterjangkauan. Sementara tempat yang paling agung menurut perspektif manusia pada umumnya adalah langit, maka Nabipun dimikrajkan Allah hingga sampai kelangit tertinggi. Pada dasarnya mungkin saja bagi Allah untuk memikrajkan Nabi ke dasar lautan, ke dasar bumi, atau ke tempat lain, namun karena langit sebagai isyarat ketinggian, maka Allah pun memilihnya.

Keyakinan bahwa Allah tanpa ruang dan tempat mayoritas Ulama Ahlus sunah Waljamaah, salah satunya  Imam al-Nawawi dalam syarah Muslim-nya ketika menjelaskan hadis di atas. Beliau menyebutkan bahwa penyebutan langit pada hadis tersebut hanya karena langit dijadikan sebagai kiblat dalam berdoa sebagaimana halnya kakbah ditetapkan Allah sebagai kiblat dalam melaksanakan salat. Bukan berarti Allah hanya bertempat di langit dan di Kakbah saja, namun itu hanya sebatas penyatuan arah dalam berdoa dan salat, tidak yang lain. Semoga kita di Tahun ini dapat memaksimalkan nikmat allah yang telah diberikan untuk semakin menambah semangat kita untuk sholat, tidak hanya secara kuantitas tapi juga kualitas ibadah kita. والله اعلم



........   ان ربكم الله الذي خلق السماوات ولأرض في ستة ايام ثم استوى على العرش يغشى اليل النهار يطلبه والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره[1]
  ان ربكم الله الذي خلق السماوات ولأرض في ستة ايام ثم استوى على العرش يدبر الامر ........ [2]
  اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ ....... [3]
 الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى[4]
 الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ.......[5]
 اَللّٰهُ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِىۡ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسۡتَوٰى عَلَى الۡعَرۡشِ.......‌[6]
[7] Imam ahmad bin hambal dikatakan oleh gus Baha sebagai ulama yang sangat mengangungkan dan menyakralkan Alquran, dengarkan ceramah beliau di https://www.youtube.com/watch?v=5isMJvpMuUQ
[8] Muhammad Idrus Ramly, Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi, Bina Aswaja, Surabaya, 2010, hlm 70
[9] Yunal Isra, “Benarkah Peristiwa Isra Mi’raj Buktikan Allah Bertempat di Langit? - Bincang Syariah”, (2 April 2018), online: BincangSyariah | Portal Islam Rahmatan lil Alamin <https://bincangsyariah.com/kalam/benarkah-peristiwa-isra-miraj-buktikan-allah-bertempat-di-langit/>, Library Catalog: bincangsyariah.com.
[10] Ibid.

You Might Also Like

0 komentar

SUSUNAN PENGURUS UKM-KI STUDI ISLAM BERKALA MASA KHIDMAT 2021-2022

SUSUNAN PENGURUS  UKM-KI STUDI ISLAM BERKALA MASA KHIDMAT 2021-2022 Berdasarkan sidang musyawarah anggota tahunan (MAT) pada 11-13 Desember ...